Ini saya ambil dari tulisannya akang zhitoer di Google.... (Bener aku belum kenal dia, BK)
Ponorogo………
Ketika mendengar nama itu setiap orang pasti akan mengaitkannya
dengan kesenian adiluhung yang tersohor ke penjuru negeri, REYOG
PONOROGO. Banyak dari kita yang sudah mendengar dan mengetahui tentang
sejarah asal mula Reog Ponorogo,namun sudah tahukah kita sejarah asal
usul kota tempat lahirnya Reyog ini?
Sudah saatnya kita mengenal dan mengenalkan kepada orang lain (siswa)
tentang sejarah kota Ponorogo ini. Dengan mengenal lebih dalam tentang
Ponorogo, diharapkan bisa menumbuhkan rasa cinta terhadap Ponorogo.
Selain itu dengan belajar tentang sejarah Ponorogo bisa menghargai dan
mentauladani perjuangan-perjuangan pendiri Ponorogo.
Pada tahun 1478 Masehi Kerajaan Majapahit jatuh dan kemasyhurannya
telah hilang kemudian muncullah kerajaan baru yaitu Kerajaan Demak
dibawah pimpinan Raden Patah. Raden Bathara Katong yang merupakan putra
dari raja Majapahit Brawijaya V ikut bergabung dengan kakaknya Raden
Patah di Kerajaan Demak. Raden Bathara Katong dididik kakaknya dengan
ajaran-ajaran Islam.
Setelah dewasa Raden Bathara Katong diberi tugas oleh Raden Patah
untuk pergi ke Wengker untuk menyelidiki daerah tersebut bersama
Senapati Sela Aji. Wengker adalah wilayah yang berada di sebelah timur
Gunung Lawu. Batas sebelah selatan adalah laut selatan, batas timur
adalah Gunung Wilis dan batas sebelah utara adalah wilayah Majapahit.
Raden Bathara Katong dan Senapati Sela Aji tiba di wilayah Wengker
ketika hari mulai gelap. Mereka mulai kebingungan untuk menjalankan
tugas karena belum mengenal seluk beluk Wengker, ditambah lagi hari yang
mulai menginjak malam. Untunglah dari kejauhan terlihat nyala api yang
menyala. Mereka segera menuju ketempat asal api menyala. Setelah dekat
dari pusat api terlihat sebuah rumah sederhana yang di sampingnya
terdapat bangunan surau kecil.
Kedatangan Raden Bathara Katong dan Senapati Sela Aji disambut
gembira dan senang hati oleh pemilik rumah dan surau kecil itu, yaitu
seorang lelaki tua. Lelaki tua tersebut mengenalkan dirinya dengan nama
Kiai Ageng Mirah. Raden Bathara Katong dan Senapati Sela Aji mengaku
terus terang jika mereka adalah utusan dari Kerajaan Demak untuk
menyelidiki daerah Wengker.
Kiai Ageng Mirah merasa senang hati menerima tamu agung dari Kerajaan
Demak. Keduanya kemudian diajak sholat magrib berjamaah. Setelah usai
sholat Kiai Ageng Mirah mulai menceritakan seluk beluk dan garis besar
daerah Wengker. Setelah hari larut malam, Kia Ageng Mirah menyuruh
mereka menginap dirumahnya.
Keesokan harinya Kia Ageng Mirah menyertai Raden Bathara Katong dan
Senapati Sela Aji melihat – lihat keadaan. Setelah dirasa cukup Raden
Bathara Katong dan Sela Aji kembali ke Demak dengan mengajak Ki Ageng
Mirah untuk melaporkan hasil penyelidikkannya. Setelah mendengar laporan
dari Bathara Katong, Raden Patah memutuskan mengangkat Raden Bathara
Katong sebagai penguasa Wengker, dan mengangkat Senapati Sela Aji
sebagai patih. Sedangkan Ki Ageng Mirah diangkat menjadi penasehat.
Raden Bathara Katong bersama patih Sela Aji dan Ki Ageng Mirah kembali
ke Wengker. Mereka disertai 40 prajurit Demak untuk membuka hutan di
Wengker. Sesampainya di Wengker mereka sibuk mencari tempat yang cocok
untuk mendirikan kadipaten. Sampai akhirnya mereka sampai di hutan
glagah yang berbau wangi. Raden Bathara Katong member nama hutan itu
Glagah Wangi. Di hutan inilah rombongan mulai membuka hutan.
Pekerjaan membuka hutan pun selesai, kemudian dilanjutkan membangun
tempat tinggal. Namun dalam pembuatan tempat tinggal ini mendapatkan
halangan. Ketika rumah telah usai didirikan keesokan harinya rumah-rumah
tersebut roboh lagi. Ki Ageng Mirah tahu kalau ada makhluk yang
mengganggu. Ki Ageng Mirah kemudian mengajak Raden Bathara Katong untuk
bertapa. Pada tengah malam muncul hal gaib yaitu keluar angin besar dan
tiba-tiba muncul dua sosok makhluk tinggi besar. Mereka mengaku penunggu
hutan yang dibuka Raden Bathara Katong, mereka bernama Jayadrana dan
Jayadipa. Kemudian Raden Bathara Katong meminta ijin kepada mereka untuk
mendirikan sebuah kadipaten ditempat tersebut. Setelah mendapatkan izin
dari Jayadrana dan Jayadipa pembangunan dapat diselesaikan dengan
lancar. Jayadipa pula yang kemudian menunjukkan tempat yang cocok untuk
pusat kota. Tempat itu berada di tengah-tengah hutan yang sudah dibuka
tersebut. Ditempat ini pula Raden Bathara Katong menemukan tiga pusaka.
Pusaka yang pertama berbentuk paying yang bernama Payung Tunggul Wulung,
pusaka kedua berupa tombak yang bernama tombak Tunggul Naga. Dan
pusaka yang ketiga berupa sabuk yang bernama Sabuk Chinde Puspita.
Pada saat Raden Bathara Katong mengambil ketiga pusaka tersebut
terjadi tiga kali ledakan besar dan membuat tanah berhamburan. Tanah –
tanah yang berhamburan tersebut kemudian membentuk lima bukit.
Bukit-bukit tersebut ada yang dinamakan Gunung Lima dan Gunung Sepikul.
Sedangkan lobang bekas ledakan menjadi sebuah goa yang diberi nama Goa
Sigala Gala. Ternyata ketiga pusaka terrsebut adalah milik ayah Raden
Bathara Katong, Prabu Brawijaya V. Saat itu Majapahit di bawah pimpinan
Raja Brawijaya V diserang oleh Raja Girindrawardana. Kemudian Raja
Brawijaya mengungsi ke Wengker bersama Jayadrana dan Jayadipa.
Raden Bathara Katong semakin mantap membangun Wengker setelah
mendapatkan pusaka warisan orang tuanya. Pembangunan Wengker mulai
berkembang dengan baik. Hutan sudah berhassil dibuka. Rumah sudah
didirikan, banyak pendatang yang ikut bergabung didalamnya. Akhirnya
terbentuklah sebuah kadipaten baru. Namun sayang kota tersebut belum
mempunyai nama. Untuk member nama kota tersebut, Raden Bathara Katong
mengadakan musyawarah. Dari musyawarah tersebut disepakati sebuah nama
baru untuk kota tersebut, nama itu adalah Pramono Rogo. Pramono berarti
bersatunya cahaya matahari dan bulan yang menyinari kehidupan di bumi,
dan rogo berarti badan. Nama Pramono rogo ini lama kelamaan berubah
menjadi Ponorogo. Pono berarti tahu akan segala sesuatu, dan rogo berari
badan manusia. Jadi Ponorogo berarti manusia yang tahu akan
kedudukannya sebagai manusia.
Sumber : buku Cerita Rakyat dari Ponorogo karangan Edy Santosa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar