Kamis, 16 Agustus 2012

BERKAH UNTUK KITA

Esay ; Junet Dolot 

Adalah tradisi “Tubo” merupakan istilah yang di pakai di kalangan masyarakat jawa di dalam mencari ikan di sungai dengan akar tumbuhan tradisional yang disebut dengan ‘Jenu’. Akar jenu tersebut di memarkan di atas batu, kemudian setelah keluar getahnya disiram dengan air dan dilarutkan dengan air sungai dengan cara melempari batu kedalamnya.

Selain itu beberapa orang berenang di dalam sungai tersebut agar getah jenu tersebut semakin larut dan merata. Gotong royong benar-benar terlihat di dalam proses ini. Mulai dari proses penggalian jenu, penentuan hari H, sampai kepada pembagian peralatan yang akan di bawa ke sungai semuanya telah di musyawarahkan dengan baik. Maknanya semua orang yang terlibat memiliki peran masing-masing (job diskription).

Setelah hari H, akar tersebut di memarkan di bagian sungai yang teratas, di maksudkan agar racunnya mengalir ke bawah dimana sungai telah berdekatan dengan pemukiman penduduk.

Setelah proses ini berlangsung biasanya seluruh masyarakat yang hidup di sepanjang sungai tersebut berbondong-bondong ke sungai membawa peralatan masing-masing mulai dari ; cikrak, jaring, sabit, timba dan sebagainya. Inipun tidak terjadi secara spontan, tetapi mereka semua sudah tahu jauh-jauh hari dari mulut ke mulut bahwa pada hari tertentu akan ada Tubo.

Seluruh orang yang terlibat di dalamnya akan mendapatkan ikan sesuai dengan kerja kerasnya. Artinya jika ada seseorang yang hanya menjadi penonton, maka mereka tidak akan mendapatkan apa-apa. Kecuali bila ada di antara mereka yang mendapatkan ikan dalam ukuran besar, maka ikan tersebut harus di bagi dengan para penggagas yang mengawali tubo biasanya hanya berjumlah kurang dari lima orang.

Dahulu masih banyak sekali jenis-jenis ikan yang mungkin saja menyulitkan kita di dalam menghitung jumlah dan golongannya ; congo, mentawes, uceng, lele, semprit, gateng dan sebagainya. Dan karena habitat mereka terjaga serta tidak pernah terjadi pembunuhan masal dengan rasun/ pestisida, maka setiap orang pasti membawa hasil yang lumayan banyak/cukup untuk dipakai sebagai lauk-pauk selama 2-3hari.

Di sini kita benar-benar menyaksikan betapa alam mampu menjadi berkah untuk masyarakat pribumi, dan betapa indahnya gotong royong serta musyawarah di perankan oleh masing-masing mereka.





Setiap orang di berikan hak dan kewajiban yang sama ; di ukur sesuai dengan kerjanya.

Barangkali seperti itulah perekonomian masa depan harus di bangun di negeri ini (lumbung).

Hari ini semuanya telah berubah. Sungai-sungai yang ada tidak lebih sebagai tempat membuang kotoran dan penuh dengan limbah pabrik, tempat pembuangan sampah.

Bahkan batu-batuan yang dulu menghiasi, sekarang sudah tidak ada lagi di jarah pabrik dengan mempekerjakan masyarakat sekitar sungai dengan bayaran yang sangat murah.

Ikan-ikan pun semakin berkurang dan bayak yang punah disebabkan oleh pemakaian racun pestisida (theodan, matador,dst) dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi di malam hari. Pola gotong royong dan musyawarah sudah tidakdi pakai lagi. Kehidupan bergerak ke arah individualistis. Mereka berlomba-lomba untuk memuaskan nafsu, kepentingan serta membesarkan perut sendiri-sendiri.

 “Kita tidak lagi dapat bercerita soal indahnya ikan Congo Yang Menempel di bebatuan aliran sungai, ikan gateng yang sangat gurih serta ikan mentawes yang sangat indah di pandang mata” “Kita pun tidak dapat lagi mencari lumut hijau yang menghiasi bebatuan di sungai, serta bebatuan yang berdiri megah melindungi sawah-sawah penduduk dari kikisan banjir sungai”.

Setelah semuanya habis, Pemerintah pun datang membawa bibit iksn untuk di bagikan kepada masyarakat di sekitar sungai dengan pelang bertuliskan “Dilarang Keras Memakai Racun dan Setrum”. Seolah-olah ia menjadi pahlawan bagi kita semua, padahal hanya celoteh belaka (Iwan Fals).

Inilah suatu fase dimana kebenaran sejarah telah menjadi kebohongan, dan orang-orang tua dianggap ketinggalan jaman oleh anak-cucunya. Inilah suatu fase yang menyuilitkan kita semua untuk terus mempertahankan kearifan dan budaya lokal yang dahulu berkembang di sekitar kita.

Fenomena yang demikian ini seharusnya mampu melahirkan titik balik bagi kita yang sadar untuk terus mengembalikan keberadaan kearifan lokal, melestarikan alam agar kembali menjadi berkah untuk rakyat.