Minggu, 12 Agustus 2012

KITA ADALAH KITA KARENA KITA BUKAN MEREKA

Oleh ; Junet Haryo Setiawan Dolot*)
(Kepada Bpk. Muhammad Hastomo dan Ponorogo Community)

Perkataan “Modern” adalah kapanjangan dari “Mode Requested By Nation” atau sarana yang digunakan to build nation yang  bersinonim dengan kata bangsa. Dan perkataan inilah yang menjebak bangsa ini selama bertahun-tahun lamanya. Oleh karena itulah, kita harus berhati-hati dalam menggunakannya.

Persoalannya adalah, yang mereka sebut sebagai bangsa/natie memiliki makna lain dari yang kita bangsa yang kita maksudkan. Hal ini dapat dilihat dari teori-teori tentang “nation” yang digulirkan oleh para pemikir barat yang di antaranya adalah:

  • Enes Renan. Kata Renan, bangsa itu adalah kehendak jiwa-jiwa untuk bersatu karena adanya; 1) Kemuliaan bersama di waktu lampau, yang merupakan aspek historis. 2) Keinginan untuk hidup bersama (le desir de vivre ensemble) di waktu sekarang yang merupakan aspek solidaritas, dalam bentuk dan besarnya tetap mempergunakan warisan masa lampau, baik untuk kini dan yang akan datang.
  • Teori Otto Bauer. Persoalan: was ist eine nation, dijawab oleh Otto Bauer adalah eine nation ist aus schicksalameinschaft erwachsene charaktergemeinschaft (suatu bangsa ialah suatu masyarakat ketertiban yang muncul dari masyarakat yang senasib) atau bangsa adalah suatu kesamaan perangai yang timbul karena senasib.
  • Rudolf Kjellen. Kjelln membuat suatu analogi/membandingkan bangsa dengan suatu organisme biotis dan menyamakan jiwa bangsa dengan nafsu hidup dari organisme termaksud. Suatu bangsa mempunyai dorongan kehendak untuk hidup, mempertahankan dirinya dan kehendak untuk berkuasa, dst.

Sepintas teori-teori yang disebutkan di atas tidak ada yang aneh, coba perhatikan satu pesatu!
Setelah lebih dari satu abad perdebatan tentang apa itu ‘natie’ dikumandangkan, pada gilirannya para founding father’s and the gang’s mensikapinya. Hal itu dimulai pada saat Soepomo mengutip pendapat Ernest Renan tentang persyaratan suatu bangsa, le desire d’etre ensemble (keinginan untuk bersatu), M. Yamin menganggap bahwa konsep Renan itu sudah kuno (verouderd).

Bung Karno ketika gilirannya berbicara juga mengutip pendapat Otto Bauer tentang bangsa yang menurutnya juga sudah kuno : Eine Nation ist eine aus Schiksalsgemein-schaft erwachsene Charaktergemeinschaft. (Bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib.) karena dia menganggap bahwa persyaratan-persyaratan bangsa yang dikemukakan oleh Renan dan Bauer itu kurang lengkap, maka ia lalu menambahkan unsur baru pada kedua konsep Renan dan Bauer itu, yaitu konsep tempat tinggal yang berasal dari ilmu Geopolitik (Teori Geopolitik berasal dari Karl Haushofer, lebih jauh dikembangkan oleh Bung Karno dalam konteks Indonesia), yang menurut Bung Karno belum ada dalam zaman Renan dan Bauer.

Soekano mengatakan dengan lantang bahwa teori-teori tersebut telah usang dan tidak berlaku di Indonesia sebab bangsa kita berbeda kita punya bangsa, dan bangsa itu adalah jiwa tetapi kita berbeda punya jiwa.... Teory yang sempurna itu dikenal dengan sebutan “geo politik suekarno”. Dalam teorinya beliau mendefinisikan bangsa adalah “kehendak jiwa-jiwa untuk bersatu di dalam wilayah teritorial tertentu”.

Sebagai orang terdidik kita tahu bahwa teritory memiliki makna wilayah atau tanah-air. Selanjutnya Soekarno di hadapan kaisar Hirohito menunjukkan teritorial yang akan dimerdekakan itu yang terbentang di antara 2 benua dan 2 samudra yang memaknakan bahwa Indonesia raya/bangsa Indonesia adalah Mafilindo (Malaysia, Filipina, dan Indonesia).

Dengan membaca definisi “nation” di dalam geopolitik di atas dapat ditarik suatu pengetahuan bahwa ada satu kesamaan yang timbul dari teori-teori barat tentang “nation” yang dikemukakan oleh ratusan pemikir barat yang ada termasuk yang saya sebutkan di atas. Kesamaan itu tampak pada saat mereka tidak pernah berbicara soal tanah atau teritorial. Dan di dalam sejarahnya hanya Yahudilah satu-satunya kaum yang tidak memiliki teritorial/tanah. Padahal pemikir-pemikir itu berasal dari belahan bumi yang berbeda, kurun waktu yang berbeda serta aliran yang berbeda-beda. Kenyataan ini semakin memperkuat keyakinan bahwa “the snake of judaism”, “the elders of zionism” itu bukan sekedar isapan jempol belaka.

Dalam ruang yang lebih besar, strategi sebagaimana diatas juga terjadi. Misalnya kemunculan demokrasi di Yunani, Law di Romawi dan Renaisance di Eropa. Seolah-olah tidak memiliki keterkaitan, padahal semuanya direncanakan di atas meja yang sama. Hal-hal seperti di atas juga terjadi di berbagai aspek kehidupan baik itu budaya, hukum, sosial, politik, ekonomi, dan lingkungan yang mengerucut dalam Sistem Pendidikan. Dan faktanya pendidikan kemudian dijadikan alat yang peling efektif dalam rangka melancarkan agenda-agenda mereka.

Hal-hal sebagaimana di atas memang didesain untuk menyesatkan kita semua sebagai bangsa yang terbangun dari ikatan dan kesepakatan kuat, serta dijiwai oleh keinginan untuk berdikari.
Kembali kepada persoalan “nation” dengan memperhatikan definisi yang mereka buat kita menjadi faham bahwa yang mereka sebut sebagai bangsa hanyalah segerombolan orang yang memiliki kesamaan kepentingan di otaknya yakni untuk mendapatkan sebidang tanah dan kekuasaan guna memuaskan ambisi pribadi/segerombolan orang!

Melalui tulisan ini, saya kembali mengingatkan kepada saya pribadi dan kita semua barangkali lupa bahwa dalam perkembangan perjalanan sejarah terdapat 3 filosofi yang berkembang di dunia yakni ;

  1. Incent phylosophy, adalah filosofi-filosofi kuno (tua) yang melahirkan berbagai macam ajaran seperti animisme, dinamisme dan sebagainya. Di dalam hal ketatanegaraan filosofi ini kemudian melahirkan sistem monarki (kerajaan). Di dalam sistem kerajaan itu untuk menguasai kerajaan ada 2 syarat; 1) Keturunan nabi, 2) Keturunan raja. Sedangkan di lain sisi Yahudi tidak memiliki garis keturunan itu sehingga mereka ciptakan suatu sistem yang dapat mereka gunakan untuk meruntuhkan tembok-tembok monarki sebagaimana saya maksud. Dan sistem itu mereka ciptakan pada 429 SM. Setelah diuji coba ratusan bertahun-tahun lamanya maka mereka menggulirkannya di Yunani dengan nama Demokrasi!  Inilah alur pergerakannya ; 1). Yunani; mererubah istilan VOX ROI VOX DEI menjadi VOX POPULY VOX DEI ;,  2) Romawi; mereka gulirkan law pada masa kaisar Agustinus, 3) Spain; mereka gulirkan renaissance, 4). Paris; mereka gulirkan revolusi prancis, 5). London; mereka gulirkan revolusi industri, 6). Berlin; people economic, 7). St, ptenburg; Revolusi borjuis, 8). dan khususnya dalam sejarah bangsa ini bermuara pada peristiwa revolusi mei 1998.
  2. Modern Phylosophy. hal ini ditandai dengan bergulirnya demokrasi sebagaimana di jelaskan dalam poin 1 diatas. Modern phylosophy ini lebih menekankan pembangunan kekuasaan/negara sebagai pondasi dalam kehidupan dari pada bangsanya. Sehingga sistem ketatanegaraan yang terbangun adalah negara demokrasi yang semuanya terbangun dari negaranya terlebih dahulu baru membangun bangsa kemudian. Dan dalam hal ini sistem demokrasi dijadikan sarana untuk menguatkan kekuasaan tersebut. Dengan bergulirnya demokrasi maka mereka dapat berkeliaran di mana-mana tanpa adanya satupun penghambat. Pada perkembangannya, Negara-negara yang memakai demokrasi inilah yang disebut dengan negara modern!, adapun mereka yang tidak memakai demokrasi mereka sebut dengan negara tertinggal (konservativ/kuno). Tetapi ada pengecualian. Pengecualian itu ialah  kerajaan-kerajaan yang telah berhasil mereka kuasai tidak perlu dibubarkan; Inggris, Belanda, dst. Ada satu riwayat bagaimana Yahudi mendanai kerajaan inggris pada saat kerajaan itu menderita kebangkrutan yang begitu besar dengan suatu konsekwensi dimana putri mahkota harus dikawini. Demikian pula kerajaan-kerajaan yang hari ini masih eksis, juga memiliki riwayatnya masing-masing.
  3. Post modern phylosophy, lebih menekankan pembangunan bangsa sebagai pondasi dari bangunan negara yang ada di atasnya dan dari seluruh negara-negara di dunia, hanya Indonesialah yang memiliki konstruksi yang demikian itu. Agar tidak dikatakan saya sedang mengarang, silakan buka preambule UUD 1945 di mana alenia 1 menceritakan bangsa, 2, bangsa, 3, bangsa dan kemudian pada alenia 4 diceritakan bagaimana bangsa Indonesia yang merdeka mendirikan Negara diatas dasar sila-sila dalam Pancasila melalui pengesahan UUD 1945. Jika kurang lengkap, silakan baca teks proklamasi kemerdekaan bangsa 17 Agustus 1945, di sana seara tegas Dwi Tunggal menyatakan kemerdekaan bangsa dan tidak ada kata republik yang keluar daripadanya, sebab republik/negara ini baru terlahir pada 18 agustus 1945 ditandai dengan disyahkannya UUD 1945 dan dilantiknya Soekarno-Hatta menjadi Presiden dan wakil Presiden untuk pertama kalinya oleh PPKI.

Jauh sebelum bangsa ini mendirikan negara, pada tanggal 1 juni 1945 founding father’s an the gang’s telah meletakkan Pancasila sebagai Philosoficche Gronslag. Pancasila itu kemudian tumbuh menjadi sifat keberpihakan tercermin di atas sila-sila yang ada padanya, karenanya ia juga berfungsi sebagai keyakinan standart dan tumbuh menjadi sumber dari segala sumber hukum.
Sebagai Philosoficche Gronslag nya bangsa Indonesia, Pancasila menstandartkan teori dan teorinya ialah kreativisme atau kepemimpinan yang mampu menjalankan kebenaran relative dan absolute secara bersama-sama. Hal ini tercermin di dalam sila-sila pancasila ;

  1. Ketuhanan Yang Maha Esa. Esa secara epistemologis memiliki makna sesuatu yang tidak bermula dan tidak berakhir (sehingga kita tidak perlu perdebatkan jakarta Charter). Dari sini dapat digali suatu pengetahuan bahwa Pancasila memerintahkan agar bangsa ini selalu berfihak kepada Tuhan. Tuhan yangmana? Ialah tuhan yang ESA!. Maknanya bahwa setiap yang dilakukan oleh bangsa ini selalu ada campur tanganNya. Pola fikir dedukti seperti inilah kecenderungan pola berfikir kita bangsa Indonesia. Oleh karena itu jika kita tinjau ulang di dalam cerita sejarah sebagaimana didalam preambule UUN 1945 pada alenia 3 disuratkan perkataan ; Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Dengan dijalankannya sila I oleh anak-anak bangsa ini maka sila ke II pancasila akan hidup ;
  2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Lagi-lagi Pancasila memerintahkan agar bangsa Indonesia berfihak kepada manusia “humanism”. Manusia yang mana? Ialah manusia yang adil dan beradab!. Adil dan beradab sebagaimana dimaksud di dalam pancasila hanya akan terbangun bilamana manusia Indonesia memiliki keberfihakan terhadap Tuhan yang Esa. Sehingga ;
  3. Persatuan Indonesia akan hidup. Dalam sila ini Pancasila memerintahkan kepada kita semua agar bersatu di dalam teritorial yang kita miliki yaitu wilayah NKRI. Para pendiri bangsa meyakini bahwa hanya dengan persatuan itu negeri ini akan merdeka dan mampu mengusir penjajahan yang terjadi.
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat (ilmu), ilmu yang mana? Ialah ilmu tentang kebijaksanaan, dimana? Didalam permusyawaratan dan perwakilan. Apa itu kebijaksanaan? Kebijaksanaan adalah kearifan, dan Pancasila melalui dimensinya telah mengisyaratkan agar kearifan local itu kita jaga, lestarikan dan kita utamakan diatas kearifan-kearifan orang lain yang berasal dari belahan bumi yang lain.
  5. Bila sila-sila dalam Pancasila itu telah dijalankan maka, keadilan social Bagi Seluruh Rakyat Indonesia pasti terjadi. Ia bukan tujuan di dalam pancasila melainkan konsekwensi atau efek saja. Tujuan pancasila adalah sila I yakni agar kita semua berfihak kepada Tuhan!.

Kemudian, agar Pancasila mampu diaplikasikan, dari kreativisme sebagai teorynya, dibangunlah suatu model. Model dalam glosari-glosari di definisikan sebagai tampilan terkecil dari kondisi/bentuk yang sebenarnya. Dan model sebagaimana dimaksud adalah UUD 1945.

Bilamana pancasila menstandartkan ajaran, maka antara filosofi, teory dan model harus berjalan searah dan tidak boleh saling bertentangan. Dalam sejarah filsafat, idiologi, dan ajaran yang ada di dunia (kecuali Agama), hanya Pancasilalah yang mempu membangun semua itu dengan sempurna. Adapun yang lain seperti halnya penganut marxis, mereka tidak mampu menjabarkan filosofi, teory dan model. Artinya bahwa mereka tidak pernah konsisten dalam membangun suatu konseb. Seharusnya teory yang muncul juga lain dengan yang mereka pelajari.

Tapi dalam pendidikan kita hari ini justru sebaliknya, ajaran Marx, Smith, Augustinus comte..... platonis dsb yang diajarkan.

Kemudian agar tidak dituduh tidak memiliki konseb, bangsa ini membuat sebuah konsebsi yang disebut dengan sistem Campuran. Ekonominya campuran, politiknya juga campuran, sosialnya, hukumnya juga campuran, Sehingga negeri ini menjadi seperti GADO-GADO?.

So...... bagaimana mungkin falsafahnya pancasila tetapi teorynya, modelnya, strategynya, taktiknya, kurikulumnya, programnya dan pembiayaannya direduksi dari ajaran lain?.! Ini memang sinting.... dan kaum terdidik negeri ini telah dibutakan dengan jabatan dan ambisinya sehingga tidak pernah berupaya menggunakan ilmunya untuk menelusuri kebenaran sejarah.

Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum dan martabat hidup rakyat, dia memiliki ukuran yang pasti dan tetap seperti halnya pengukuran panjang di dalam matrix; 10 milimeter = 1 cm, 10 cm = 1 decimeter, dan 10 decimeters = meter (39,37 inci)...deka-, 10, dekameter = 10 meter..dst. Dalam hal ini bukan ukuran yang terlihat melainkan dimensinya, maknanya Pancasila itu memiliki dimensi dan dimensi itulah yang akan digunakan di dalam membangun kehidupan berbagsa di segala aspek kehidupannya.
Inilah dimensi Pancasila itu, Pancasila menstandartkan;
  • Budaya bangsa. Budaya bangsa itu adalah kepemimpinan, yakni dia yang menjalankan kebenaran relative dan absolute secara-bersama-sama. Kepemimpinan ini memiliki nilai 1, dan hal ini telah disebutkan dalam model (UD 1945) bahwa Indonesia dipimpin oleh 1 orang presiden!.
  • Aturan Dasar/hukum yang distandartkan Pancasila dari budaya yang terbangun terlebih dahulu. Aturan dasar itu ialah gotong royong. Gotong royong ini memiliki nilai 10, dan hal ini juga telah di tulis di dalam model (UUD 1945) bahwa jika kita total terdapat 10 lembaga Negara di bawah kepemimpinan 1 orang presiden.
  • Interaksi soscial yang distandartkan Pancasila dari gotong royong yang terbangun, dan interaksi social itu adalah Mufakat. Dan nilianya adalah 100 Maknanya setiap 10 gotong royong akan menstandartkan 100 mufakat dan hal ini jelas diatur di dalam tafsir model/strategi bahwa di antara 100 lembaga Negara itu terdapat 100 hubungan yang terjadi secara mufakat.
  • Dinamika politik yang distandartkan Pancasila dari kata mufakat yang terbangun, dinamika itu ialah musyawarah yang memiliki nilai 1000, hal ini juga dijabarkan di dalam model dan strategi bahwa akan ada 1000 orang yang akan bermusyawarah, dan itulah MPR.
  • Nilai ekonomi yang distandarkan dari dinamika politik. Nilai itu bernama lumbung yang memiliki nilai 10.000 dan Soekarno melalui keputusannya telah menetapkan 10. 000 lumbung yang akan dibangun.
  • Sistem tanah adat yang distandartkan dari nilai di atasnya yang berjumlah 100.000  dan benar bahwa Indonesia Raya pada saat itu memiliki 100.000 STA
  • Dan STA itulah yang akan dijadikan dasar/landasan dalam pembangunan Sistem Tata Ruang (STR) yang berjumlah 1.000.000…… berbentuk UU, PP dan PERDA.
  • Tentang perencanaan tata ruang dan juga organisasi tata ruang

Dimensi ini harus terbangun, tidak boleh kurang tidak boleh lebih!!!!. Tapi hari ini apa dengan mudahnya seorang presiden membentuk satgas, KPU, dan lembaga-lembaga yang tidak jelas, dsb…… sehingga gotong royong tidak lagi bernilai 10 malainkan berpuluh-puluh!!.

Melalui tulisan ini saya hendak katakan bahwa kesembilan dimensi di atas sejatinya merupakan komponen daripada bangunan sistem hukum NKRI yang terdiri dari hukum, keyakinan, nilai dan norma…, jika Pancasila sebagai hukum memiliki sifat pasti, tetap dan diterima oleh siapapun juga, maka semakin bergerak menuju angka 8 (semakin menuju nilai, semakin menuju ke arah norma), dia akan semakin tidak pasti, tidak tetap dan tidak diterima oleh siapapun juga. Karenanya ia (UU, PP, PERDA) harus ditinjau ulang (fit back terhadap hukum). Proses inilah yang disebut dengan penegakan supremasi hukum. Sehingga kebijakan-kebijakan yang tidak jelas dalam hemat kami seperti halnya SBI, RSBI harus dibatalkan demi hukum!.

Dengan memahami dimensi Pancasila di atas, maka jelaslah bila Negara ingin membangun kebijakan di bidang budaya, Negara harus mengacu kepada kreativisme, di bidang Hukum Negara harus menggunakan gotong royong, sosialnya mufakat, politiknya musyawarah dan ekonominya lumbung dan pembangunan lingkungan tidak boleh merusak Sistem Tanah Adat. Maka mengangkat harkat dan martabat masyarakat Madiun itu tidak sama dengan mengangkat harkat dan martabat hidup masyarakat Ponorogo, Demikian juga daerah-daerah yang lain di segala lapisan dan ruang. Apalagi dunia? Oleh karenanyalah kita sebagai bangsa Indonesia tidak pernah kenal dengan perkataan maju dan berkembang, modern maupun tradisional…….!!!.

Kembali kepada dimensi pancasila, kita akan menemukan suatu model atau mampu menjawab seperti apa seharunya pendidikan ini dikelola dan dijalankan. Secara garis besar saya hendak menyampaikan bahwa pendidikan dan kebijakan-kebijakan yang lain harus dikembangkan berdasarkan potensi yang ada di sekitar kita sebab Pancasila menjamin Sistem tanah Adat. Bukankah sinting bila mereka yang ada di papua dipaksa untuk sama dengan kita yang hidup di jawa?. Bila pendidikan dikembangkan berdasarkan potensi yang ada, maka kurikulum yang terbangun antara daerah satu dengan yang lain akan berbeda, mislanya ; di kalimantan akan ada kurikulum yang mengajarkan ilmu pengolahan batu bara, di sumatra akan diajarkan ilmu pemeliharaan dan pengolahan sawit, di papua akan diajarkan ilmu tentang emas, di jawa akan diajarkan ilmu tentang pertanian. Di bidang budaya mislanya, di Ponorogo akan di ajarkan ilmu tentang Reog Ponorogo.. dan seterusnya.

Dengan guliran diatas maka yang disebut dengan binaeka itu akan benar-benar hidup dan selalu lestari, sehingga pengetahuan tidak berkembang di sekolah-sekolah, di universitas-universitas. Ratusan, ribuan bahkan jutaan penemuan tentang ilmu pertanian akan ditemukan oleh para petani, ratusan, ribuan, dan bahkan jutaan ilmu akan ditemukan oleh mereka yang bergelut di bidangnya masing-masing.

Guliran-guliran sebagaimana dijelaskan diatas secara otomatis akan meningkatkan taraf hidup rakyat dan kehidupan di segala aspek pada tataran mikro yang kemudian akan berimbas pada wilayah makro... bahkan dunia internasional, meskipun sebenarnya kita bisa hidup tanpa harus memiliki embel-embel internasional!.

Di atas dasar inilah kita harus fikirkan dan diskusikan guliran RSBI yang dipuja-puja belakangan ini sebab sejatinya SIDIKNAS itu tidak pernah melampaui proses penjaminan (fitback) terhadap hukum bangsa ini dan mengesampingkan Sistem Tanah Adat yang bermuara pada semakin dilupakannya jati diri bangsa kita oleh anak-anak bangsa ini sendiri. Pada tataran penetapan standartnya, RSBI berada pada aturan dasar di dalam dimensi Pancasila, dan di dalam pelaksanaannya RSBI menghuni organisasi tata ruang (sekolah). Ini semua adalah fakta yang jelas…. Bahwa kita sedang masuk ke dalam jebakan mereka!!!.

Pada tahun 1922 Ki Hajar Dewantara sebagai bapak pendidikan kita telah menciptakan konseb yang kemudian dikenal dengan trilogy kepemimpinan seolah-olah beliau faham bahwa lambat-laun negeri ini akan dikibuli. Seolah-olah beliau mengerti bahwa pendidikan di negeri ini lambat-laun akan melenceng dari khitohnya. Demikian beliau berkata ;

ING NGARSA SUNG TULADHA ; Di depan menjadi tauladan. Mmaknakan harus ada ilmu yang kita tauladani. Contohnya ; Guru (di gugu lan di tiru), mengisyaratkan bahwa bukan manusianya yang dimaksud, tetapi ilmunya. Sedangkan sesuatu yang disebut dengan ilmu itu memiliki 3 bagian ; 1) Filosofi, 2) teory, 3). Model dan diantara ketiganya harus selaras atau tidak boleh bertentangan sebagaimana saya jelaskan dalam uraian diatas.

ING MADYA MANGUN KARSA ; Di tengah-tengah menjadi penggerak. Maknanya harus ada teknik yang dipakai untuk menngeraakkan baik mendorong yang di depan maupun menarik yang ada di belakang. Sedangkan sesuatu yang disebut teknik itu memiliki 2 bagian yakni 1) strategy, 2) taktik dan diantara keduanya tidak boleh bertentangan serta harus mengacu kepada ilmu yang telah dibangun sebelumnya.

TUT WURI HANDAYANI ; ini memaknakan harus ada manajemen dimana manajemen terdiri dari 1). Kurikulum. 2) program, 3) pembiayaan dan semuanya tidak boleh bertentangan baik terhadap komponen-komponen yang ada, terhadap strategi serta terhadap ilmu.
Bilamana teknologi itu tersusun atas penggabungan antara ILMU, TEORI dan MODEL, maka inilah yang disebut dengan teknologi bangsa Indonesia.!. Sehingga teknologi yang kita milikipun juga lain dengan yang dunia Internasional punya.

Lalu apa yang dapat ditawarkan oleh RSBI? Lalu apa yang ditawarkan oleh Ponorogo Community di dalam memastikan keadilan dan merawat tanah kelahirannya itu?.

Mudah-mudahan tulisan ini tidak terbuang sia-sia….. dan harapan kami PC tidak sekedar menjadi tempat bercerita di dunia maya namun mampu melahirkan program aksi yang konkrit!.


*) Penulis adalah seorang pengamat Pendikikan Tinggal di Ponorogo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar