Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
ADA orang mengatakan bahwa Islam menolak nasionalisme.Dasarnya, Islam
adalah agama universal. Karena itu, ia menganggap nasionalisme sebagai
paham yang berlawanan dengan Islam.
Pernyataan di atas menjadi relevan jika dilihat asumsinya. Namun,
Rasulullah SAW pernah bersabda: ”Wahai Tuhan, ampunilah kaumku karena
mereka tidak mengerti duduk persoalan segala sesuatu.” Juga ada
ayat-ayat Alquran yang menunjuk perlunya kita memahami caracara sebuah
kaum karena asal-usul mereka yang berbeda. ”Sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku supaya kamu saling
mengenal. (Inna khalaqnakum min dzakarin wa untsa wa ja‘alnakum syu‘uban
wa qabaila li ta‘arafu)”(QS Al- Hujurat: 49).
Karena itu, kita tidak boleh sembarangan saja mengambil kesimpulan,
karena antara sesuatu yang universal dan yang nasionalistis belum tentu
berlawanan. Mungkin keduanya saling berbeda, tapi masingmasing dapat
digunakan pada waktu yang berlainan. HOS Tjokroaminoto dan KH M Hasjim
As’yari adalah dua tokoh organisasi Islam dari masa lampau. Namun,
mereka mempunyai asal-usul yang juga sama. Sama-sama keturunan Ki Kasan
Besari (ini penjawaan dari nama Hasan Basri),kerabat Raden Mas (RM)
Said, belakang hari dinamai Mangkunegara I, yang memerintah Surakarta.
Yang jelas, RM Said kemudian menggunakan gelar milik Kasan Besari yaitu
Pangeran Sambernyawa.
Mereka berdua berjuang bersama, dan samasama menang dalam pertarungan
melawan pihak Belanda, yang dibubuhkan dalam Perjanjian Gianti yang
kemudian melahirkan Kerajaan Mataram di Yogyakarta. Disusul seabad
kemudian oleh berdirinya Kraton Pakualam. Pada mulanya,baik Ki Kasan
Besari maupun RM Said sudah sepakat menetapkan Ki Kasan Besari menjadi
Mangkunegara II. Namun, Ki Kasan Besari ternyata lumpuh, dan anak
Mangkunegara I akhirnya menjadi Mangkunegara II. Sebagai ganti,Ki Kasan
Besari diberi tanah bebas pajak di Tegalsari,Ponorogo.
Keturunannya di Solo belakangan adalah tokoh PNI, Isnaeni, dan mantan
Ketua Iluni dr Haryadi Darmawan. Di Ponorogo, Ki Kasan Besari mempunyai
lima orang anak.Anak pertama meninggal di Pacitan. Dari anak
inilah,kemudian lahir keturunan kesembilan, bernama Susilo Bambang
Yudhoyono. Anak kedua Kasan Besari adalah perempuan yang kawin dengan Ki
Ageng Basyariah di Sewulan,kurang lebih 10 km arah selatan Madiun.
Kakek penulis lahir dari keluarga ini. Anak ketiga Kasan Besari
melahirkan pendiri Pondok Modern Gontor.
Yang keempat juga seorang perempuan,yang keturunannya kawin dengan
Sudiro, mantan Wali Kota Jakarta, yang kemudian hari berubah menjadi
Gubernur DKI Jakarta Raya. Dari keluarga itu, lahirlah istri Letjen
Susilo Sudarman dan tokoh lain Letjen TNI (alm) Himawan Sutanto. Penulis
tidak tahu kebenarannya, tapi ada yang bercerita bahwa Prof Dr Umar
Kayam termasuk dari cabang warga ini. Yang kelima, mempunyai keturunan
yang saat ini menjadi tokoh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Lampung.
Cabang keluarga dari Sewulan itu sekarang sudah menjadi ribuan orang,
yang terpencar di provinsi-provinsi Indonesia. Termasuk di dalamnya
tokoh Muhammadiyah A Munir Mulkhan dan almarhum KH A Kahar Muzakir,salah
seorang pendiri UII (Universitas Islam Indonesia) di Yogyakarta. Dari
uraian ini menjadi jelas, bahwa hubungan genealogis dan historis
memegang peranan penting dalam menciptakan keterkaitan antara kaum Islam
dan kaum nasionalisme, setidak-tidaknya ini berlaku untuk negeri kita
Indonesia.
Namun, sekarang ini diperlukan perluasan, sehingga meliputi seluruh
kawasan Nusantara (dalam bahasa Jawa Nusantara berarti kepulauan antara
Benua Asia dan Australia). Dalam Muktamar NU di Banjarmasin, kawasan
Nusantara secara resmi masuk pertimbangan. Putusan Muktamar menyatakan
tidak wajib adanya negara Islam untuk kawasan Hindia Belanda.
Pelaksanaan/ implementasi syariah cukup oleh masyarakat, dengan negara
tidak perlu campur tangan. Hal ini merupakan landasan teoretis bagi
terbentuknya negara yang di belakang hari dinamai Negara Pancasila.
Di sini kembali terletak kaitan antara Islam dan nasionalisme di
Indonesia. Jadi, antara keduanya terdapat hubungan genealogis, historis,
teoretis, maupun praktis. Penulis artikel ini yakin bahwa Tuhan telah
mengatur hal ini jauhjauh hari, sehingga saat ini hal itu seolah-olah
menjadi monopoli negeri kita. Kaitan seperti itu adalah dasar dari apa
yang saat ini dinamai ”Islam moderat”. Ternyata, Islam tidak harus
selamanya ditafsirkan sebagai agamanya para muslim fundamentalis atau
radikal. Inilah kekhususan Islam Indonesia. Jelas dari uraian di atas,
antara Islam dan nasionalisme terdapat banyak keterkaitan yang tidak
dapat diabaikan sama sekali.
Karena itulah, para warga gerakan Islam dan nasionalis di Indonesia
memikul tugas yang sangat berat, yaitu memelihara pandangan yang
menyatakan bahwa antara keduanya tidak ada pertentangan. Bukankah ini
pertanda, bahwa kepemimpinan baru dunia Islam akan dipegang kaum Islam
moderat, yang dilahirkan dari kalangan kaum muslim terbesar jumlahnya di
seluruh dunia, yaitu Indonesia. Kaum Islam inilah yang menghargai
perbedaan budaya/kultural dalam segenap aspeknya.
Jakarta, 18 September 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar