Minggu, 12 Agustus 2012

KETERKAITAN NASIONALIS & ISLAM INDONESIA

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

ADA orang mengatakan bahwa Islam menolak nasionalisme.Dasarnya, Islam adalah agama universal. Karena itu, ia menganggap nasionalisme sebagai paham yang berlawanan dengan Islam.

Pernyataan di atas menjadi relevan jika dilihat asumsinya. Namun, Rasulullah SAW pernah bersabda: ”Wahai Tuhan, ampunilah kaumku karena mereka tidak mengerti duduk persoalan segala sesuatu.” Juga ada ayat-ayat Alquran yang menunjuk perlunya kita memahami caracara sebuah kaum karena asal-usul mereka yang berbeda. ”Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku supaya kamu saling mengenal. (Inna khalaqnakum min dzakarin wa untsa wa ja‘alnakum syu‘uban wa qabaila li ta‘arafu)”(QS Al- Hujurat: 49).

Karena itu, kita tidak boleh sembarangan saja mengambil kesimpulan, karena antara sesuatu yang universal dan yang nasionalistis belum tentu berlawanan. Mungkin keduanya saling berbeda, tapi masingmasing dapat digunakan pada waktu yang berlainan. HOS Tjokroaminoto dan KH M Hasjim As’yari adalah dua tokoh organisasi Islam dari masa lampau. Namun, mereka mempunyai asal-usul yang juga sama. Sama-sama keturunan Ki Kasan Besari (ini penjawaan dari nama Hasan Basri),kerabat Raden Mas (RM) Said, belakang hari dinamai Mangkunegara I, yang memerintah Surakarta. Yang jelas, RM Said kemudian menggunakan gelar milik Kasan Besari yaitu Pangeran Sambernyawa.

Mereka berdua berjuang bersama, dan samasama menang dalam pertarungan melawan pihak Belanda, yang dibubuhkan dalam Perjanjian Gianti yang kemudian melahirkan Kerajaan Mataram di Yogyakarta. Disusul seabad kemudian oleh berdirinya Kraton Pakualam. Pada mulanya,baik Ki Kasan Besari maupun RM Said sudah sepakat menetapkan Ki Kasan Besari menjadi Mangkunegara II. Namun, Ki Kasan Besari ternyata lumpuh, dan anak Mangkunegara I akhirnya menjadi Mangkunegara II. Sebagai ganti,Ki Kasan Besari diberi tanah bebas pajak di Tegalsari,Ponorogo.

Keturunannya di Solo belakangan adalah tokoh PNI, Isnaeni, dan mantan Ketua Iluni dr Haryadi Darmawan. Di Ponorogo, Ki Kasan Besari mempunyai lima orang anak.Anak pertama meninggal di Pacitan. Dari anak inilah,kemudian lahir keturunan kesembilan, bernama Susilo Bambang Yudhoyono. Anak kedua Kasan Besari adalah perempuan yang kawin dengan Ki Ageng Basyariah di Sewulan,kurang lebih 10 km arah selatan Madiun. Kakek penulis lahir dari keluarga ini. Anak ketiga Kasan Besari melahirkan pendiri Pondok Modern Gontor.

Yang keempat juga seorang perempuan,yang keturunannya kawin dengan Sudiro, mantan Wali Kota Jakarta, yang kemudian hari berubah menjadi Gubernur DKI Jakarta Raya. Dari keluarga itu, lahirlah istri Letjen Susilo Sudarman dan tokoh lain Letjen TNI (alm) Himawan Sutanto. Penulis tidak tahu kebenarannya, tapi ada yang bercerita bahwa Prof Dr Umar Kayam termasuk dari cabang warga ini. Yang kelima, mempunyai keturunan yang saat ini menjadi tokoh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Lampung.

Cabang keluarga dari Sewulan itu sekarang sudah menjadi ribuan orang, yang terpencar di provinsi-provinsi Indonesia. Termasuk di dalamnya tokoh Muhammadiyah A Munir Mulkhan dan almarhum KH A Kahar Muzakir,salah seorang pendiri UII (Universitas Islam Indonesia) di Yogyakarta. Dari uraian ini menjadi jelas, bahwa hubungan genealogis dan historis memegang peranan penting dalam menciptakan keterkaitan antara kaum Islam dan kaum nasionalisme, setidak-tidaknya ini berlaku untuk negeri kita Indonesia.

Namun, sekarang ini diperlukan perluasan, sehingga meliputi seluruh kawasan Nusantara (dalam bahasa Jawa Nusantara berarti kepulauan antara Benua Asia dan Australia). Dalam Muktamar NU di Banjarmasin, kawasan Nusantara secara resmi masuk pertimbangan. Putusan Muktamar menyatakan tidak wajib adanya negara Islam untuk kawasan Hindia Belanda. Pelaksanaan/ implementasi syariah cukup oleh masyarakat, dengan negara tidak perlu campur tangan. Hal ini merupakan landasan teoretis bagi terbentuknya negara yang di belakang hari dinamai Negara Pancasila.

Di sini kembali terletak kaitan antara Islam dan nasionalisme di Indonesia. Jadi, antara keduanya terdapat hubungan genealogis, historis, teoretis, maupun praktis. Penulis artikel ini yakin bahwa Tuhan telah mengatur hal ini jauhjauh hari, sehingga saat ini hal itu seolah-olah menjadi monopoli negeri kita. Kaitan seperti itu adalah dasar dari apa yang saat ini dinamai ”Islam moderat”. Ternyata, Islam tidak harus selamanya ditafsirkan sebagai agamanya para muslim fundamentalis atau radikal. Inilah kekhususan Islam Indonesia. Jelas dari uraian di atas, antara Islam dan nasionalisme terdapat banyak keterkaitan yang tidak dapat diabaikan sama sekali.

Karena itulah, para warga gerakan Islam dan nasionalis di Indonesia memikul tugas yang sangat berat, yaitu memelihara pandangan yang menyatakan bahwa antara keduanya tidak ada pertentangan. Bukankah ini pertanda, bahwa kepemimpinan baru dunia Islam akan dipegang kaum Islam moderat, yang dilahirkan dari kalangan kaum muslim terbesar jumlahnya di seluruh dunia, yaitu Indonesia. Kaum Islam inilah yang menghargai perbedaan budaya/kultural dalam segenap aspeknya.

Jakarta, 18 September 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar